Bawang Merah Bawang Putih
Once
upon a time, there lived a beautiful and kind girl named Bawang Putih. Bawang
Putih lived along with his father that she loved so much in a village,
somewhere in Yogyakarta. Bawang Putih biological mother was long dead as a
result of serious illness that she suffered. Bawang Putih lived in a very
modest family, his father was only small traders. Even though, they were always
grateful for the blessings that had given by God.
Since
she was abandoned by his mother, Bawang Putih felt very lonely, moreover, if
her father went to the market to trade all day. Having the same feeling as his
daughter, her father intends to marry Mbok Rondo, a widow with one daughter who
lived with in the same village. Her father hoped that Bawang Putih would no
longer felt lonely because there would be someone accompanied her at home. As a
wise father, he asked Bawang Putih about his plan.
Bawang
Putih understood his father's intentions. She also felt the presence of Mbok
Rondo in the family would make the atmosphere livelier and would make her not
to feel lonely anymore. Moreover, Mbok Rondo had a daughter named Bawang Merah
who was the same age as Bawang Putih. With these considerations, Bawang Putih
approved her father request to marry Mbok Rondo.
After
marriage, Mbok Rondo and her daughter, Bawang Merah, lived together with Bawang
Putih and herfather. Initially, Mbok Rondo and Bawang Merah were very nice to
Bawang Putih. However, after time went by, their true nature began to appear.
When her father went to trades, Mbok Rondo and Bawang Merah often scolded and
told Bawang Putih to do heavy work such as cleaning the house, washing, and
cooking. All those heavy works were done by Bawang Putih, while Mbok Rondo and
Bawang Merah just sat and relaxed.
Bawang
Putih was afraid tell her father what was done by her step-mother and
step-sister. That was because the last few months her father had fallen ill.
Bawang Putih did not want to make her father worried which would make the
condition worse. What Bawang Putih was feared, happened. Her father whom he
loved so much died from illness which he suffered. Since then, Bawang Putih’s
life was even more miserable. Bawang Putih’s step-mother and step-sister now
had control of everything. They treated Bawang Putih worse than before. In
fact, Mbok Rondo did not hesitate to slap Bawang Putih if she made mistakes in
doing all the houseworks.
One
morning, after cleaning the house, Bawang Putih went to the river to wash a
basket full of Mbok Rondo and Bawang Merah’s dirty clothes. One by one, the
dirty clothes were washed. Bawang Putih was surprised when one of the clothes
drifted along the river stream. She then figured it out that the clothes was
Mbok Rondo’s favorite scarf. Bawagn Putih could not reach the scarf. The stream
took it away faster that she thought. Her step-mother would be very angry to
know that her favorite scarf was gone. However, Bawang Putih needed to tell
her.
Obviously,
Rondo Mbok was very angry to hear her favorite scarf was washed away in the
river. Mbok Rondo did not hesitate to slap Bawang Putih on these indiscretions.
Bawang Putih was also threatened evicted from their homes if she could not find
the scarf. Rushing, Bawang Putih went straight down the river to look for the
clothes. Bawang Putih asked everyone she met, but they did not see any clothes
washed away in the river. Later that afternoon, Bawang Putih still walked down
the riverbank hope she could find the clothes.
After
several hours of walking, she met an old lady who was washing rice in the
river. Initially, Bawang Putih was afraid to ask the old lady about the clothes
she looked for. It was because her performance which was very creepy. However,
Bawang Putih needed to find the scarf. She found no other options except asking
it to the old lady.
"Sorry
grandma, Did you see any clothes washed away in this river?" Bawang Putih
asked.
"Mmmm
.. clothes? Is it the scarf with rose’s motif?" The creepy old lady asked.
"Yes
.. yes .. Grandma. It's the scarf I was looking for." Answered Bawang
Putih happyly.
“Come
to my house, dear. It’s getting dark. Come.. come.." The old lady invited.
Bawang
Putih was nodded her head and went to the old lady’s house not far from the
river. Bawang Putih was surprised seeing the house was very dirty and messy.
She then decided to stay a few days with the old lady to do the daily works.
Diligently, Bawang Putih cleaned house, washed the old lady’s clothes and even
cooked for her. The old lady was happy, there was still someone who wanted to
help her. After a few days passed, Bawang Putih decided to go home afraid of
her stepmother got angrier.
"Granny,
I do really want to stay longer here, but I need to go home. I need to bring
back this scarf to my stepmother. I am afraid she is angry." Bawang Putih
said.
"Well
dear, I understand. Because you have been really good to help me here, please
take one of these yellow pumpkins as a gift." Asked the old lady.
Initially,
Bawang Putih wanted to refuse that the old lady offered because Bawang Putih
thought the pumpkins were the stored food. However, It was not good to reject
someone’s gift. Bawang Putih then accepted it and took the smallest pumpkin out
of the two. She then said good bye to the old lady and went home.
Arriving
at home, Bawang Putih also gave the scarf to Mbok Rondo. Mbok Rondo was still
angry. Perhaps, it was because Bawang Putih did not return for several days.
The stepmother was immediately sent her to the kitchen to prepare food.
Remembered the pumpkin she got from the old lady, Bawang Putih planned to cook
the pumpkin. Bawang Putih was surprised when she spilt the pumpkin a half.
Bawang Putting found gold, diamonds, and gems inside the pumpkin. Mbok
Rono and Bawang Merah who saw the incident immediately forcibly seize jewelry
in the hands of Bawang Putih.
"Hey,
Bawang Putih! Tell me where you get this much jewelry!" Mbok Rondo asked.
Bawang
Putih told everything to Mbok Rondo and Bawang Merah. Hearing the story, Mbok
Rondo asked Bawang Merah to do the same thing with Bawang Putih. In the next
day, Bawang Merah went to the old lady’s house at the edge of the river.
Similar with Bawang Putih, Bawang Merah was asked to accompany the old lady for
a week. Unlike Bawang Putih who worked diligently, Bawang Merah was just lazing
around. If she did something, the results were never good because Bawang Merah
did it not suriously. Finally, after a week, Bawang Merah asked for leaving.
"Hey
old lady, I have helped you. I want to go home now. Can you give me the big yellow
pumpkin over there as a gift of helping you." Asked Bawang Merah.
The
old lady then gave the pumpkin to Bawang Merah as she wanted. Quickly she
took it and without saying good bye, Bawang Merah left and went home. When she
arrived at home, Bawang Merah immediately showed the pumpkin to her mother.
They were so happy. Immediately, they cut the pumpkin a half hoping there were
more jewelries found in this pumpkin than in the previous one. They were very
surprised; there were no gold, no diamond, nor gems. Instead, venomous animals
such as snakes and scorpions sprouted out from the inside. The animals attacked
them with no mercy to death.
Finally,
Bawang Putih managed to get back all the gold, diamonds and gems that had been
taken by Mbok Rondo. Bawang Putih used those jewelries to make a living. Bawang
Putih at the end lived happily ever after.
Moral
of the story: If you decided to help someone, help them with all you heart.
Terjemahan:
Bawang Merah dan Bawang Putih
Dikisahkan,
hiduplah seorang anak gadis cantik nan baik bernama Bawang Putih. Bawang Putih
tinggal berdua dengan ayahnya yang sangat dia cintai di sebuah desa di daerah
Yogyakarta. Ibu kandung Bawang Putih sudah lama meninggal akibat sakit keras
yang dideritanya. Bawang Putih hidup di keluarga yang sangat sederhana, ayahnya
hanya pedagang kecil. Walupun begitu mereka selalu bersyukur atas nikmat yang
dikaruniahkan oleh Tuhan tersebut.
Semenjak
ditinggal oleh Ibunya, Bawang Putih merasa sangat kesepian. Apalagi jika
ayahnya pergi ke pasar seharian untuk berdagang. Melihat kondisi Bawang Putih
yang seperti itu, Ayahnya berniat untuk mempersunting Mbok Rondo, seorang janda
dengan satu anak gadis yang hidup satu desa dengannya. Ayahnya berharap dengan
menikahi Mbok Rondo, Bawang Putih tidak lagi kesepian karena ada yang
menemaninya di rumah. Namun, ayah Bawang Putih tidak serta merta langsung
menikahinya. Sebagai ayah yang bijak, dia meminta pertimbangan Bawang Putih
tentang rencananya tersebut.
Bawang
Putih mengerti maksud ayahnya tersebut. Dia pun merasa kehadiran Mbok Rondo
dalam keluarganya akan membuat suasana semakin ramai dan akan membuat dia tidak
merasakan kesepian lagi. Apalagi, Mbok Rondo memilki seorang anak gadis yang
bernama Bawang Merah, yang umurnya tidak jauh dari Bawang Putih. Dengan
pertimbangan tersebut, Bawang Putih menyetujui permintaan ayahnya untuk menikah
dengan Mbok Rondo.
Setelah
menikah, Mbok Rondo dan anak gadisnya, Bawang Merah, tinggal bersama dengan
Bawang Putih dan ayahnya. Awalnya, Mbok Rondo dan Bawagn Merah bersikap sangat
baik dengan Bawang Putih. Namun, setelah beberapa lama, sifat asli mereka
beruda mulai terlihat. Ketika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang, Mbok
Rondo dan Bawang Merah kerap memarahi Bawang Putih dan menyuruhnya untuk
melakukan pekerjaan berat dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah dari mulai
bersih-bersih, mencuci dan memasak. Sedangkan Mbok Rondo dan Bawang Merah hanya
bermalas-malasan saja.
Bawang
Putih tidak berani menceritakan apa yang dilakukan oleh ibu dan saudari tirinya
tersebut ke ayahnya. Hal itu dikarenakan beberapa bulan terakhir ayahnya sering
jatuh sakit. Bawang Putih tidak ingin membuat khawatir ayahnya yang akan
membuat kondisinya semakin buruk. Apa yang dikhawatirkan Bawang Putih pun
terjadi, ayah yang sangat dia cintai meninggal dunia karena sakit yang dia
derita. Sejak saat itu, kehidupan Bawang Putih semakin menyedihkan. Ibu tiri
dan saudara tiri Bawang Putih sekarang mengendalikan semuanya. Bahkan, Mbok
Rondo tidak segan-segan menampar Bawang Putih jika dia melakukan kesalahan saat
mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Suatu
pagi, usai bersih-bersih rumah, Bawang Putih pergi ke sungai untuk mencuci satu
keranjang penuh pakian kotor Mbok Rondo dan Bawang Merah. Satu per satu, pakain
kontor tersebut dia cuci dengan bersih. Alangkah terkejutnya Bawang Putih
ketika salah satu pakaian kotor tersebut hayut terbawa arus sungai. Pakain
tersebut merupakan selendang kesukaan Mbok Rondo. Bawang Putih tidak dapat
menggapai selendang tersebut. Arus sungai membawanya lebih cepat dari pada yang
dia kira. Ibu tirinya akan sangat marah mengetahui bahwa selendang favoritnya
telah hilang. Akan tetapi, Bawang Putih harus menceritakannya.
Jelas
saja, Mbok Rondo murka mendengar pakaian kesukaanya hilang hanyut di sungai.
Mbok Rondo tak segan menampar Bawang Putih atas kecerobohannya tersebut. Bawang
Putih pun diancam diusir dari rumahnya jika tidak menemukan kembali pakaian
kesukaan ibu tirinya tersebut. Bergegas, Bawang Putih langsung menyusuri sungai
untuk mencari pakaian tersebut. Bawang Putih bertanya kepada setiap orang yang
dia temui, namun mereka tidak melihat ada pakaian hayut di sungai. Hari semakin
sore, Bawang Putih masih tetap berjalan menyusuri tepi sungai berharap dia
menemukan pakaian tersebut.
Setelah
beberapa jam berjalan, dia bertemu dengan seorang wanita tua wanita tua yang
sedang mencuci beras di pinggir sungai. Bawang Putih mulanya takut bertanya
kepada wanita tua tersebut, karena penampilanya yang sangat menyeramkan. Namun
Bawang Putih harus menemukan pakaian ibu tirinya tersebut. Dia tidak menemukan
pilihan lain lagi kecuali bertanya pada wanita tua tersebut.
"Maaf
nek, Apakah nenek melihat pakaian hayut di sungai ini", Bawang Putih
bertanya dengan takut.
"Mmmm..
Pakaian ya. Apakah pakaian yang kau cari berwarna merah dengan corak
kembang-kembang?" Tanya nenek menyeramkan tersebut.
"Iya..
iya.. nek. Itu pakaian yang saya cari." Jawab Bawang Putih bahagia.
"Datanglah
ke rumah nenek, sayang. Hari sudah mulai gelap. Ayoo.." Nenek itu barkata.
Bawang
putih pun menuruti perkataan Nenek tersebut untuk pergi dan menginap semalam di
rumahnya yang tidak jauh dari sungai. Alangkah terkejutnya Bawang Putih melihat
rumah nenek tersebut sangat kotor dan berantakan. Dia kemudian memutuskan untuk
tinggal beberapa hari bersama Nenek tersebut dan membantunya melakukan
pekerjaan sehari-hari. Dengan rajin, Bawang Putih memberihkan rumah, mencucikan
baju, dan juga memasak. Nenek tersebut senang, masih ada orang baik yang mau
membantunya. Setelah beberapa hari berlalu, Bawang Putih pun memutuskan untuk
pulang karena takut Ibu tirinya semakin marah.
"Nek,
sebenarnya saya ingin tinggal lebih lama di sini, tapi saya harus pulang. Saya
harus mengembalikan selendang ini ke ibu tiri saya. Saya takut dia marah,
Nek." Kata Bawang Putih.
"Baiklah
nak, nenek mengerti. Karena kamu sudah baik membantu Nenek di sini. Ambil lah
salah satu dari ke dua labu kuning ini sebagai hadiah." Pinta Nenek.
Awalnya,
Bawang Putih ingin menolak pemberian Nenek tersebut karena ia pikir labu tersebut
merupakan simpanan makanan nenek. Namun, pikir Bawang Putih, tidak lah baik
menolak pemberian orang. Akirnya dia mengambil labu paling kecil dari dua labu
yang ada. Kemudian dia pamit kepada nenek tua tersebut dan pulang ke rumah.
Setibanya
di rumah, Bawang Putih pun memberikan pakaian tersebut ke ibu tirinya. Ibu
tirinya tetap saja marah. Mungkin karena Bawang Putih tidak kembali selama
beberapa hari. Ibu tirinya tersebut pun langsung menyuruhnya untuk ke dapur
untuk menyiapkan makanan. Teringat dengan labu yang diberikan oleh Nenek,
Bawang Putih pun berencana untuk memasak labu tersebut. Bawang Putih sangat
terkejut ketika dia membelah labu menjadi dua. Dia menemukan emas, berlian, dan
permata di dalam labu tersebut. Mbok Rono dan Bawang Merah yang melihat
kejadian itu langsung merebut paksa perhiasan di tangan Bawang Putih.
"Hey,
Bawang Putih! Ceritakan dari mana kamu mendapatkan perhiasan sebanyak
ini!" Tanya Mbok Rondo dengan nada memaksa.
Bawang
putih menceritakan semuanya kepada Mbok Rondo dan Bawang Merah. Mendengar
cerita tersebut, Mbok Rondo meminta Bawang Merah untuk melakukan hal yang sama
dengan Bawang Putih. Esok harinya, Bawang Merah pun pergi ke rumah nenek di
pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk
menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama
seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun dia mengerjakan
sesuatu, hasilnya tidak pernah bagus karena Bawang Merah mengerjakannya dengan
asal-asalan. Akhirnya setelah satu minggu, Bawang Merah meminta pulang.
“Hey
nek, saya telah menolong mu. Saya ingin pulang sekarang. Bisakah kamu memberiku
labu kuning besar di sana sebagai hadiah karena telah menolong mu.” Pinta
Bawang Merah.
Nenek
itu kemudian memberikan labut tersebut kepada Bawang Merah. Dengan cepat dia
mengambil labu tersebut dan tanpa berpamitan Bawang Merah melenggang pergi dan
pulang kerumah. Sesampainya di rumah bawang merah segera memperlihatkan labu
tersebut kepada ibunya. Mereka sangat bahagia. Dengan segera, mereka memotong
labu tersebut menjadi dua bagian berharap menemukan lebih banyak perhiasan di
labu yang ini dari pada di labu yang sebelumnya. Mereka sangat terkejut, tidak
ada emas, tidak ada berlian, atau pun perhiasan. Malahan, binatang-binatang
berbisa seperti ular dan kalajengking berhamburan keluar dari dalam.
Binatang-binatang tersebut menyerang mereka hingga mereka tewas
Akhirnya,
Bawang Putih berhasil mendapatkan kembali semua perhiasan emas, berlian, dan
permata yang telah di rampas oleh ibu tirinya tersebut. Bawang Putih
menggunakan perhiasan-perhiasan tersebut untuk menghidupi dirinya. Pada
akhirnya, Bawang Putih hidup bahagia untuk selama-lamanya.